SEJARAH perkembangan filsafat berkembang atas dasar pemikiran kefilsafatan
yang telah dibangun sejak abad ke-6 SM. Ada dua orang filsuf yang corak
pemikirannya boleh dikatakan mewarnai diskusidiskusi filsafat sepanjang
sejarah perkembangannya, yaitu Herakleitos (535-475 SM) dan Parmenides (540-475
SM).
Pembagian secara periodisasi filsafat barat adalah zaman kuno, zaman abad
pertengahan, zaman modern, dan masa kini. Aliran yang muncul dan berpengaruh
terhadap pemikiran filsafat adalah Positivisme, Marxisme, Eksistensialisme,
Fenomenologi, Pragmatisme, dan NeoKantianianisme dan Neo-tomisme. Pembagian
secara periodisasi Filsafat Cina adalah zaman kuno, zaman pembauran, zaman
Neo-Konfusionisme, dan. zaman modern. Tema yang pokok di filsafat Cina adalah
masalah perikemanusiaan. Pembagian secara periodisasi filsafat India adalah
periode Weda, Wiracarita, Sutra-sutra, dan Skolastik. Adapun pada Filsafat
Islam hanya ada dua periode, yaitu periode Muta-kallimin dan periode filsafat
Islam. Untuk sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di sini pembahasan mengacu
ke pemikiran filsafat di Barat.
Periode filsafat Yunani merupakan periode penting sejarah peradaban manusia
karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite
menjadi yang lebih rasional. Pola pikir mite-mite adalah pola pikir masyarakat
yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa
bumi dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa
Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan,
fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi
aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.
Perubahan pola pikir tersebut kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak
sederhana karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan
dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam
menjadi lebih proaktif dan kreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian
dan pengkajian. Dari proses ini kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat,
yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode
perkembangan filsafat Yunani merupakan poin untuk memasuki peradaban baru umat
manusia
Perkembangan Filsafat pada Yunani Kuno
Untuk mempelajari filsafat kita tidak bisa terlepas dari belajar atau mengkaji
sejarah filsafat. Hal ini sangat penting mengingat dalam mempelajari sejarah
kita juga akan mempelari ruang lingkup dimensi yang ada dalam ruang dan waktu
yang melandasi suatu fenomena.
Dengan fenomena yang ada kita bisa mengetahui sebab dan akibat yang
saling terkait. Oleh karena itu dalam kajian filsafat belajar sejarah filsafat
merupakan metode bahkan merupakan subject matter sebagaimana
,yang dijelaskan Wiramhardja: “sejarah filsafat merupakan metode yang terkenal
dan banyak digunakan orang dalam mempelajari filsafat bahkan merupakan metode
yang sangat penting dalam belajar berfilsafat. Sejarah filsafat pun
merupakan subject matter itu sendiri”. [2]
Mempelajari sejarah filsafat berarti kita
mempejari dengan dasar kategori waktu mengenai pemikira secara kronologis, yang
di dalamnya antara lain, tempat kejadian, lingkungan sosial, kebudayaan yang
melingkupiya. Dengan mempelajari berbagai latar belakang yang merupakan bagian
dari kronologi maka kita akan mengetahui watak dari pemikiran berdasarkan
pereode sejarah tertentu.
Disamping itu seringkali persoalan-persoalan hanya dapat dipahami jika dilihat
dari perkembangan sejarahnya. Pemikiran para filosof besar seperti Aristoteles,
Thomas Aquino, Imanuel Kant hanya dapat dimengerti dari aliran aliran yang
mendahului mereka. Aliran yang satu biasanya tesis dan yang lainnya merupakan
sintesis, atau bisa jadi merupakan reaksi dari pemikiran yang lain pada masa
yang berbeda. Dan dari seluruh perjalanan pemikiran filsafat itu menjadi sangat
terlihat juga persoalan-persoalan manakah yang selalu tampil kembali bagi
setiap kurun waktu[3].
Maka untuk mengetahui watak dan karakter masing – masing pereode waktu
atau dalam sejarah filsafat maka penulis membagi sejarah filsafat menjadi,
pertama zaman Yunani Kuno atau Filsafat Alam (600 SM – 200 SM). Kedua Zaman
Keemasan (470 SM – 300 SM). Kemudian yang ketiga dilanjutkan pada masa Abad
Pertengahan pada masa Filsafat Islam (Arab) (awal abad VIII M – abad XII
M). pereode Kristen (abad IX – XII M). Kemudian masuk pada zaman
modern (1600 – 1800 M), diteruskan Zaman Baru (1800 – 1950 M). Dan
terakhir adalah Postmodernism atau Kontemporer (1950 -…M) .[4]
1. Pra Socrates
Pada masa awal ini sering di sebut dengan filsafat alam. Penyebutan
tersebut didasarkan pada munculnya banyak pemikir/filosof yang memfokuskan
pemikirannya pada apa yang diamati di sekitarnya, yakni alam semesta. Mereka
memikirkan alam- mencari unsur induk yang dianggap asal dari segala sesuatu.
Pandangan para filosof ini melahirkan monisme, yaitu aliran yang menyatakan
bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa
jiwa, materi, Tuhan atau sebutansi lainnya yang tidak dapat di ketahui.[5]
Pada zaman masa ini para filosof mulai
berfikir ulang dan tidak mempercayai sepenuhnya pengetahuan yang didasarkan
pada mitos-mitos, legenda, kepercayaan yang sedang menjadimeanstream di
masyarakat waktu itu. Mereka mempercayai bahwa pengetahuan bisa didapatkan
melalui proses pemikiran dan mengamati.
Salah satu pemikir pertama pada masa ini adalah Thales (624 – 545 SM)
berfikiran bahwa zat utama yang menjadi dasar semua kehidupan adalah air.
Anaximander (610 – 546 SM) adalah murid dari Thales, tetapi walaupun begitu
Thales berbeda pendapat dengan gurunya. Thales berfikiran bahwa permulaan yang
pertama tidak bisa ditemukan (apeiron) karena tidak memiliki
sifat-sifat zat yang ada sekarang. Ia mengatakan bahwa segala hal berasal dari
satu subtansi azali yang abadi, tanpa terbatas yang melingkupi seluruh
alam. [6]
2. Zaman Keemasan
Jika pada masa Pra Socrates para pemikir masih
berkutat pada wilayah kemenjadian, maka pada masa keemasan sudah masuk pada
pemikiran dan keutamaan moral. Pada masa keemasan kajian sudah mengarah kepada
manusia sebagai objek pemikiran. Pada masa ini juga sudah mulai berkembang
dialektis- kritis untuk menunjukkan kebenaran.
Socrates (470 – 399 SM) merupakan generasi pertama dari tiga filsafat besar
dari Yunani. Pemikiran Socrates sangat dipengaruhi oleh kondisi kaum
“sophis” cerdik cendekia yang dalam mengajarkan pengetahuannya
meminta imbalan. Dan pada masa hidupnya kekuasaan politik di Athena sedang
dikuasai oleh para “sophis” yang jahat dan sombong pada masa
sebelumnya.
Socrates adalah seorang yang meyakini bahwa menegakkan moral merupakan tugas
filosof, yang berdasarkan ide-ide rasional dan keahlian dalam pengetahuan.
Menurut Socrates ada kebenaran objektif yang tidak tergantung pada saya atau
kita. Setiap orang bisa berpendapat benar dan salah tergantung pada pengujian
rasionya.
Socrates percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan diri, manusia pada
dasarnya adalah jujur, dan kejahatan merupakan upaya akibat salah pengarahan
yang membebani kondisi seseorang. Ia menjelaskan gagasan sistematis bagi
pembelajaran mengenai keseimbangan alam dan lingkungan yang kemudian akan
mengarah pada perkembangan method ilmu pengetahuan. Socrates berpendapat bahwa
pemerintahan yang ideal harus melibatkan orang-orang yang bijak, dan
dipersiapkan dengan baik dan mengatur kebaikan-kebaikan untuk masyarakat. [7]
Socrates memiliki pandangan atau gagasan
tunggal dan transenden yang ada di balik pergerakan ini. Sampai dia di suruh
bunuh diri meminum racun karena pandangannya dianggap meracuni kepercayaan umum
yang saat itu masyarakat mempercayai kuil dan dewa-dewa.
Berikutnya adalah Plato (427 – 347 SM) adalah murid Socrates. Menurutnya dunia
yang tampak ini sebuah bayangan atau refleksi dari dunia yang
ideal. Bahkan kebenaran dan definisi lahir bukan dari hasil dialog
melainkan hasil bayangan dari dunia ide. Menurutnya dunia ide adalah realitas
yang sebenarnya. Untuk menjelaskan tentang pemikiran filosofisnya
Plato membagi realitas menjadi dua yakni pertama dunia
ide. Kedua dunia baying-bayang dan dunia yang tampak ini
adalah di dalamnya.
Aristoteles (384 – 322 SM) adalah filosof yang sangat berpengaruh sama
sebagaimana Plato, namun Aristoteles sangat empiris dan mulai
memperlihatkan kecenderungan berfikir yang saintific.Menururnya tidak
ada sesuatu pun di dalam kesadaran yang belum pernah dialami oleh indra.
Seluruh pemikiran dan gagasan yang masuk ke dalam kesadaran kita melaui apa
yang pernah kita lihat dan dengar sebelumnya.[8]
Manusia memiliki akal pembawaan untuk mengorganisasikan seluruh kesan inderawi
ke dalam kategori-kategori atau kelompok-kelompok. Aristoteles juga mulai
membagi benda dengan melaui “bentuk” dan “substansi” nya. [9] Selain
pemikiran yang empiris ini, Aristoteles juga mengembangkan logika, bahkan
Aristoteles terkenal dengan bapak logika. Logikanya disebut logika tradisional,
sebab nanti berkembang logika modern.
Perkembangan Filsafat Pada Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan sering disebut filsafat scholastic, karena sekolah-sekolah yang
ada sudah mengajarkan hasil dari pemikiran filsafat . Pada
abad ini perkembangan filsafat sangat di pengaruhi oleh agama, sehingga pokus
kajiannya lebih banyak membahas dan membicarakan Theocentris (Tuhan).
Secara histori peradaban yang dibangun oleh Yunani mengalami masa kejayaan
sudah sangat berkembang pesat dan besar, sehingga mempengaruhi pemikiran di
Eropa. Karena pada saat di Eropa muncul peradaban Kristen. Namun pada pereode
selanjutnya dominasi gereja semakin berlanjut, sampai pada titik belenggu
kehidupan pemikiran manusia.
Gereja memberlakukan aturan yang sangat ketat terhadap pemikiran manusia,
termasuk pemikiran tentang teologi. Hanya pihak gereja yang berhak mengadakan
penyelidikan terhadap agama. Kendati demikian ada saja pihak-phak
pemikir yang melanggar peraturan tersebut, dan mereka dianggap orang yang murtad,
dan kemudian diadakan pengejaran. Pengejaran terhadap orang-orang yang murtad ini
mencapai puncaknya pada akhir abad XII dan yang paling berhasil di Spanyol.[10].
Pada
abad IV Agustinus (354-430) adalah pemikir besar yang berpengaruh terhadap
pemikiran yang berkembang. Pada Agustinus pemikirannya merupakan integrasikan
dari teologi Kristen dan pemikiran filsafatinya. Ia sendiri tidak sepaham
dengan pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu otonom atau lepas dari iman
kristiani.
Pada pemikiran masa ini ada beberapa hal yang penting dan sebagai maenstream yaitu
rasio insani hanya dapat abadi jika medapatkan penerangan dari rasio Ilahi.
Tuhan adalah guru yang tinggal dalam batin kita dan menerangi roh
manusia. [11] Abad
pertengahan yang memasuki masa keemasan filsafat masih dipelajari dalam
hubugannya dengan teologi. Namun wacana filsafat masih hidup dan dipelajari
walaupun tidak secara terbuka dan mandiri.
Pada zaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad
ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani
ini adalah Patristik (Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi
atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau
Patristik Barat).
Tokoh-tokoh Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria
(150-215), Origenes (185-254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius
(330-379). Tokohtokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367),
Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430).
Ajaran-ajaran dari para Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada
intinya ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan
pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh
dari Plotinos. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan
akal-budi diabdikan untuk dogma agama.
Zaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh
Aristoteles. Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam karya
beberapa filsuf Yahudi maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn. Sina,
980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai
Sang Filsuf sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles dijuluki
sebagai Sang Komentator. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman.[12]
Kristiani menghasilkan filsuf penting
sebagian besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad Pertengahan, yaitu,
dari ordo Dominikan dan Fransiskan. Filsafatnya disebut Skolastik karena pada
periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan
universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat
internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman
dengan akal budi.
Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat sebagai
suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan
yang satu mengabdi terhadap yang lain atau sebaliknya. Sampai dengan di
penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap
perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan
Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja,
ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa
adalah matahari (Heleosentrisme).[13]
Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja
sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi sebagai
pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak
zaman Yunani yang justru telah mendapat mandat dari otoritas Gereja.[14] Oleh
karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja, itu sebabbnya N. opernicus
di hokum oleh kerajaan atas perintah gereja.
Perkembangan Filsafat pada Zaman Modern (Eropa)
Istilah modern itu sendiri tidak jelas apa maksudnya. Lazimnya, istilah
modern menampilkan kesombongan dan arogan, bahkan menampik buah pikiran yang
telah lahir sebelumya disebut juga sebagai suatu pemberontakan yang sedikit
dilebih-lebihkan. Sehingga pemikiran filsafat modern lebih cendrung
membicarakan hal-hal antroposentris artinya mebicarakan apa
yang ada dalam dirinya.
Adapun filsafat modern memiliki ciri khas dan karakter dalam mendapatkan
kebenaran, cirinya adalah kesangsian terhadap kebenaran itu sendiri. Maka dalam
mendapatkan kebenaran yang sejati adalah dengan kesangsian dan
keraguan. Sama halnya dengan kaum pasca-modernisme yang memberontak
terhadap pemikiran modern yang terlalu menghargai rasio.
Mengenai siapa “founding fathers” Zaman Modern ini, beberapa ahli
berpendapat adalah Rene Descartes dengan pikiran rasionalitas, John Locke
dengan pemikiran empirisnya, Immanuel Kant dengan kritis melihat ketidak
sempurnaan. Baik pada Descartes, Locke maupun Kant mengatakan bahwa,
“pengamatan tanpa konsep adalah buta, sedangkan tanggapan tanpa penglihatan
adalah hampa.” Ia berpendapat, bahwa pengetahuan itu dasarnya adalah pengamatan
dan pemikiran.
Untuk melihat lebih mudah, maka filsafat modern dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu: (1) rasionalisme, empirisme, dan
kritisisme. (2) dialektika idealisme dan dialektika materialisme,
(3)fenomenologi dan eksistensialime, serta (4) filsafat kontemporer dan
pasca-modernisme.[15]
Para pemikir rasional menuntut kenyataan
sejati yang berdasar pada pemikiran, sehingga hukum pengetahuan sangat jelas.
Hal ini bisa berlaku jika hanya pengetahuan bersifat apriori. Dasar
pengetahuan adalah sensasi yang berasal dari rangsangan-rangsangan yang
berdasar pada pengalaman. Menurut kaum kritisisme (Kant) ilmu pengetahan harus
memiliki kepastian sehingga rasionalisme adalah benar. Ilmu pengetahuan harus
mau dan berkembang didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang pula.
Dialektika idealism merupakan hasil dari pemikiran Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770 – 1831) yang sangat berorientasi pada ilmu sejarah, alam, dan
hukum. Hegel menyatakan bahwa segenap realitas bersifat rasional, dan yang
rasional bersifat nyata. Ia sangat mementingkan rasio, tetapi bukan hanya rasio
pada perseorangan,melainkan rasio pada subjek absolute. Kemudian dealektika
Hegel adalah pemikiran yang berusaha mendamaikan, mengkromomikan daua pandangan
atau lebih atau keadaan yag bertentangan menjadi satu keatuan. Hegel berpendpat
bahwa pertentangan adalah “bapak”segala hal.
Ada tiga hal dalam fase dielektika, pertama tesis menampilkan
lawannya antithesis sebagai fase kedua. Kemudian, timbullah fase ketiga yang
mendamaikan kedua fase itu, yaitu :”aufgehoben”artinya bermacam-macam di
cabut, ditiadakan, dan tidak berlaku lagi. Hal ini disebut sintesis. Dalam
sintesis terdapat tesis dan antithesis, keduanya diangkat pada satu taraf yang
baru. Jadi tesis dan antithesis tetap ada, hanya lebih sempurna.
Mengenai materilisme yang muncul “berlawanan” dengan idealisme dapat
dikemuakakan sebagai berikut. Berdasarkan dialektika materialime bahwa seluruh
kenyataan sejati adalah materi, sehingga apapun dapat dijelaskan dalam proses
material. Materialisme terbagi menjadi dua, pertama materialisme yang
meneruskan masa “aufklaerung” yang banyak digunakan dalam
meneruskan tradisi ilmu pengetahuan alam atau disebut materialisme ilmiah.
Kedua materialisme filsafat yang merupakan reaksi atas idealism.
Filsafat materialism adalah “Hegelian kiri” yang memberikan kritik
tajam atas pemikiran Hegel yang dipandangnya sebagai puncak rasionaisme modern.
Pengikut pertama hegelan kiri adalah Ludwig Feuerbach (1804 –
1872). Menurutnya dalam rasionalisme selalu ada suasana religious sehingga pengenalan
inderawi kurang mendapat penghargaan yang semestinya.[16]
Perkembangan Filsafat pada Masa
Kontemporer
Pada masa ini pembicaraan filsafat lebih banyak mebahas dan membicrakan
maslah logocentris(kata/kalimat), inipun terjadi pada
filosof-filosuf eropa, lain halnya dengan di Amerika lebih bersifatPragmatis,
artinya mereka akan mengambilnya jika filsafat itu menguntungkan
bagi mereka.
Perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar:
rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah
yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan
belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan
aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu.
Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak
spekulasi filsafati dan otonom.
Aliran-aliran tersebut antara lain: positivisme ialah
Paradigma ilmu pengetahuanyang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan,[17]. fenomenologi yakni
hanyalah suatu gaya berfikir, bukan suatu mazhab filsafat. Pendapat lain
fenomenologi merupakan suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan dan
memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.[18]
Aliran lainnya ada namanya marxisme,
eksistensialisme, pragmatisme, neokantianisme, neo-tomisme, sedangkan
dalam aliran filsafat pendidikan ada namanya Progresivisme (fleksibel
artinya lentur tidak kaku, toleran, terbuka maksudnya ingin mengetahuai dan
menyelidiki demi pengembangan ilmu), esensialisme yakni
kembali ke kebudayaan lama karena banyak melakukan kebaikan bagi manusia, perennialisme memiliki
arti kekal tiada akhir, dan konstruksionalisme yakni berusaha membina suatu
consensus untuk tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.[19]
Menurut A. Comte (1798-1857),[20]. pemikiran
manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan
(3) Positif-ilmiah. Bagi era manusia dewasa (modern) ini
pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah,
artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan
dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat,
luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi metafisik,
dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan Fisika
Sosial sebelum dikenal sekarang sebagai Sosiologi.
Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (Natural sciences)
sudah lebih mantap dan mapan, sehingga banyak pendekatan dan metode-metode
ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences)
yang berkembang sesudahnya. Pada periode terkini (kontemporer) setelah
aliran-aliran sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat,
misalnya :Strukturalisme dan Postmodernisme.
Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya C. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M.
Faoucault. Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida.[21]
Kini oleh para epistemolog (ataupun dari
kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu
pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan,
teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter
L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology.
Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan
keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan
research). Demikian pula hal ada dan keberadaan (ontologi/metafisika)
suatu ilmu/sain berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu
/sain dan kegunaan/manfaat atau implikasi(aksiologi) ilmu /sain juga
menjadi bahasan dalam filsafat ilmu.
No comments:
Post a Comment