Pahlawan Nasional merupakan gelar
yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, sebagai penghargaan terkait aksinya
yang heroik mengusir penjajahan pada masa dulu. tindakan heroik dapat di
definisikan " tindakan perjuangan yang luar biasa, mengerahkan segala
kekuatan, akal dan fikiran untuk mengusir penjajahan. Dengan aksinya itu perlu
di kenang atas berkat jasa mereka Indonesia bisa seperti ini".
Secara etimologi kata
“pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta “phala”, yang artinya hasil atau buah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti seseorang yang mempunyai
keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran bagi bangsa, negara dan
agama atau pejuang yang gagah berani.
Pahlawan Nasional adalah
gelar penghargaan tertinggi di Indonesia. Gelar anumerta atau gelar yang
diberikan kepada orang yang sudah meninggal ini diberikan oleh Pemerintah
Indonesia sebagai perbuatan nyata yang sangat berjasa dan diteladani bagi
masyarakat.
Dari surat keputusan
presiden, ada 159 tokoh pahlawan Indonesia dan 12 diantaranya adalah para
pahlawan nasional wanita antara lain:
1.Cut Nyak Dhien – Aceh
Cut Nyak Dhien adalah salah satu
pahlawan nasional wanita Indonesia yang lahir pada Selasa, 0-1-1848 di
Lampadang, Aceh. Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang agamis
yang merupakan keturunan langsung Sultan Aceh, yaitu Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim.
Pada usia 12 tahun,
yakni tahun 1862 ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII dan mereka memiliki satu anak
laki-laki.
Masa Perjuangan melawan Belanda
Pada 26 Maret 1873,
Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
daratan Aceh. Pada 8 April 1873, Belanda menguasai Masjid Raya Baiturrahman
serta membakarnya dan daerah VI Mukim berhasil di duduki Belanda yang akhirnya
membuat suaminya, Teuku Ibrahim bertempur untuk merebut daerah VI
Mukim.
Namun sayangnya Teuku
Ibrahim gugur dalam perang di Gle Tarum, 29 Juni 1878, hal ini
membuat Cut Nyak Dhien marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda dan
melanjutkan perjuangan suaminya untuk memimpin perang. Setelah Cut Nyak Dhien
menjanda, Teuku Umar salah satu pejuang Aceh meminangnya untuk dijadikan istri
sekaligus rekan perjuangan karena sangat kagum dengan semangat Cut Nyak Dhien,
mereka menikah pada tahun 1880 dan memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Bersama Teuku Umar, Cut
Nyak Dhien membangun kembali kekuatan dan meningkatkan moral semangat
perjuangan Aceh melawan Belanda di sejumlah tempat, mereka berdua merupakan
pasangan suami istri yang berbahaya bagi kekuasaan Belanda di Aceh.
Namun takdir berkata
lain, pada 11 Februari 1899 Teuku Umar ditemukan gugur dalam perperangan dan
membuat pasukan Cut Nyak Dhien semakin melemah karena mendapatkan tekanan terus
menerus dari Belanda. Ditambah lagi kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dhien
terus menurun sampai akhirnya Belanda berhasil menangkapnya di Beutong Le
Sageu. Untuk menghindari pengaruh Cut Nyak Dhien pada Aceh, Belanda
mengasingkannya ke Sumedang.
Akhir Hayat
Cut Nyak Dhien yang
sudah renta dan mengalami gangguan pengelihatan berhasil menarik perhatian para
tahanan dan bupati Suriaatmaja di tempat pengasingannya, beberapa ulama yang
ditahan bersama Cut Nyak Dhien menyadari bahwa ia merupakan seorang muslimah
yang ahli dalam ilmu agama islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”.
Kegiatan Cut Nyak Dhien
memberikan pengaruh besar di Sumedang, beliau mengajarkan agama islam dan
merahasiakan jati dirinya sebagai seorang putri sultan dari Aceh. Pada tanggal
6 November 1908, Ibu Perbu meninggal dunia. Cut Nyak Dhien diakui oleh Presiden
Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106
Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
2. Cut Nyak Meutia – Aceh
Cut
Nyak Meutia adalah pahlawan nasional dari Aceh yang lahir di Keureutoe, Pirak,
Aceh Utara 1870. Ia terkenal sebagai wanita yang mempunyai semangat juang
tinggi dan tekad yang kuat untuk mengusir penjajah.
Masa Perjuangan
Cut
Nyak Meutia melawan Belanda bersama suaminya, yaitu Teuku Muhammad atau lebih
dikenal dengan Teuku Tjik Tunong. Mereka merupakan suami-istri sekaligus rekan
perjuangan yang solid untuk melawan Belanda. Sampai akhirnya pada Maret 1905,
Teuku Tjik Tunong ditangkap oleh pihak Belanda dan dijatuhkan hukuman mati di
tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, ia menitipkan pesan kepada
sahabatnya Pang Nagroe untuk menikahi istrinya dan merawat anaknya.
Sesuai
pesan almarhum suaminya, Cut Nyak Meutia pun menikah dengan Pang Nagroe dan
bergabung bersama pasukan pimpinan Teuku Muda Gantoe untuk melawan Belanda.
Namun sayangnya, pada 26 September 1910 Pang Nagroe gugur dalam peperangan
melawan Korps Marechausee di Paya Cicem. Cut Nyak Meutia berhasil selamat
bersama para wanita lainnya dan melarikan diri ke dalam hutan.
Akhir Hayat
Setelah
kematian suami keduanya, Cut Nyak Meutia tetap melakukan perlawanan terhadap
Belanda bersama dengan pengikutnya. Mereka berusaha menyerang dan merampas
pos-pos kolonial sepanjang perjalanan ke Gayo melewati hutan belantara. Namun,
pada pertempuran di Alue Kurieng tanggal 24 Oktober 1910 tertembak peluru dan
dinyatakan telah gugur. Atas segala jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi
gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No 107 Tahun 1964
pada tanggal 2 Mei 1964. Kisah heroiknya juga lah yang membakar
semangat masyarakat indonesia dalam melawan Peristiwa
G30S/PKI 1965.
3.
Raden Ajeng Kartini – Jepara
Raden
Ajeng Kartini adalah pejuang wanita asal Jepara yang
sangat terkenal di Indonesia. Beliau dikenal sebagai seorang wanita yang gigih
memperjuangkan emansipasi wanita. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Hari
kelahirannya diperingati sebagai Hari Kartini, untuk menghormati segala
jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.
Kartini merupakan keturunan keluarga bangsawan,
ayahnya adalah R.M. Sosroningrat yang menjabat sebagai bupati Jepara. Ibunya
bernama M.A. Ngasirah, anak dari seorang kiai di Telukawur, Kota Jepara.
Kartini mengenyam pendidikan sampai usia 12 tahun di ELS (Europese Lagere
School). Setelah usia 12 tahun, Kartini harus tinggal di rumah karena sudah
bisa dipingit.
Masa
Perjuangan
Kartini merasakan banyak diskriminasi antara pria
dan wanita, dimana ia dan perempuan lainnya tidak bisa melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ada beberapa perempuan yang sama sekali
tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan. Di masa pingitannya, Kartini suka
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah
satunya adalah Rosa Abendanon. Kartini tertarik dengan kemajuan dan pola pikir
perempuan Eropa setelah banyak membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa.
Timbul keinginan Kartini untuk memajukan perempuan pribumi seperti perempuan
Eropa, karena saat itu perempuan pribumi berada di status sosial yang rendah.
Akhir
Hayat
Pada tanggal 12 November 1903, tepatnya saat berusia
24 tahun ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan bupati Rembang, yaitu K.R.M
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat dan memiliki satu anak laki-laki bernama
Soesalit Djojodhiningrat. Kartini wafat 4 hari setelah melahirkan anak
pertamanya.
Wafatnya Kartini tidak mengakhiri perjuangannya
sebagai pelopor emansipasi wanita, salah satu temanya di Belanda yaitu,
Abendanon mengumpulkan semua surat-surat yang dulu pernah dikirimkan Kartini ke
teman-temannya di Eropa. Abendanon membukukan seluruh surat itu dan diberi
judul Door Duisternis tot Licht yang artinya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”,
terbit pada tahun 1911 dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi
translasi buku dari Abendon ini dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang:
Buah Pikiran” dengan bahaya Melayu. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga
mulai diterbitkan, agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan R.A.
Kartini semasa hidupnya. Atas perjuangannya, pemerintah menganugerahi gelar
Pahlawan Nasional Indonesia kepada R.A. Karini berdasarkan SK Presiden RI No
108 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
4.
Raden Dewi Sartika – Jawa Barat
dewi sartikaRaden Dewi Sartika, adalah salah satu
tokoh perintis pendidikan bagi kaum wanita. Beliau lahir di Bandung, 4 Desember
1884 dari pasangan Raden Somanegara dan Raden Ayu Permas.
Masa
Perjuangan
Ia memulai perjuangannya sejak usia 18 tahun dengan
mengajarkan membaca, menulis, memasak dan menjahit bagi perempuan-perempuan di
kotanya. Pada 16 Juli 1904, Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri atau
Sakola Perempuan. Di tahun 1904, Sakola Istri dirubah namanya menjadi Sakola
Keutamaan Istri dan pada tahun 1929, Sakola tersebut berganti nama lagi menjadi
Sakola Raden Dewi.
Selain tersebar di kota kabupaten Pasundan, Sekolah
Raden Dewi menyebar pula ke luar pulau Jawa. Dewi Sartika berusaha keras untuk
mendidik anak-anak perempuar agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang
baik, cerdas, luwes, terampil dan kelak mampu berdiri sendiri. Untuk menutupi
biaya operasional sekolah, Dewi Sartika berusaha mencari sumbangan dana dan
tambah lagi banyak pihak yang mendukung perjuangannya, terutama suaminya yaitu
Raden Kanduruan Agah Suriawinata.
Nama Dewi Kartika dikenal luas oleh masyarakat
sebagai pendidik, terutama di kalangan perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1939,
pemerintah Hindia Belanda memberikan bintang jasa kepada Dewi Sartika atas
jasanya telah memajukan pendidikan kaum perempuan.
Akhir
Hayat
Dewi Sartika menghembuskan napas terakhirnya di
Tasikmalaya, 11 September 1947. Atas perjuangannya dalam mencerdaskan bangsa,
Ia diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, pada tanggal
1 Desember 1966.
5.
Martha Christina Tiahahu – Maluku
Martha ChristinaMartha Christina Tiahalu merupakan
salah satu pejuang wanita yang lahir di Maluku, 4 Januari 1800. Christina
adalah seorang putri dari Kapitan Paulus Tiahahu, yang juga turut serta dalam
perang Patimura melawan Belanda pada tahun 1817.
Masa
Perjuangan
Sejak kecil, Martha sering mengikuti ayahnya dalam
rapat pembentukan kubu pertahanan, ketika umur 17 tahun Martha pun sudah berani
melawan para penjajah.
Martha Christina juga berperan sebagai pemimpin pejuang
wanita untuk mendampingi para pejuang pria dalam misi perebutan wilayah Belanda
di desa Ouw, Ulath Pulau Saparua. Richemont, seorang pimpinan peran Belanda
dibunuh oleh pasukan Martha Cristina. Dengan kematian pimpinan Belanda
tersebut, penjajah semakin marah dan terus menyerang rakyat Maluku sehingga
pasukan Maluku dikalahkan. Sebagai konsekuensinya, Ayah Martha Christina
tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Martha Christina pun berusaha untuk membebaskan
ayahnya, namun sayangnya ia dan para pejuang Maluku berhasil ditangkap oleh
Belanda. Sampai akhirnya, Kapitan Paulus Tiahahu pun meninggal dunia dengan
hukuman mati.
Akhir
hayat
Selanjutnya Martha Christina dihukum dan diusingkan
ke pulau Jawa. Sampai akhirnya pada 2 Januari 1818, Martha Christina meninggal
dalam perjalanan menuju pulau Jawa dan jasadnya hanya dibuang ke lautan. Atas
perjuangan dan keberaniannya dalam melawan penjajah, Martha Christina diberikan
gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, menurut SK Presiden RI
No.012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969.
6.
Maria Walanda Maramis – Minahasa
Maria MaramisMaria Walanda Maramis merupakan
pergerakan wanita yang lahir di Kema, Sulawesi Utara pada 1 Desember 1872.
Sejak umur enam tahun, Maria Maramis sudah menjadi anak yatim piatu dan diasuh
oleh pamannya. Pendidikan Maria hanya ditempuh sampai SD, karena gadis-gadis di
Minahasa saat itu tidak diizinkan mengenyam pendidikan tinggi.
Masa
Perjuangan
Maria mampu
memperluas ilmu pengetahuannya karena gemar bergaul dengan kaum-kaum
terpelajar, seperti Pendeta Ten Hove. Maria kecil bertekad ingin memajukan kaum
wanita Minahasa dengan memperoleh pendidikan yang cukup, agar kelak dalam
mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak dengan baik.
Pada tahun 1890, Maria Maramis menikah dengan Yoseph
Frederik Calusung Walanda yang merupakan seorang guru. Dengan bantuan suaminya
dan pelajar lainnya, pada Juli 1917 Maria Walanda Maramis mendirikan sebuah
organisasi yang diberi nama Percintaan Ibu kepada Anak Turunannya (PIKAT), yang
mengajarkan cara-cara mengatur rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat
bayi dan pekerjaan tangan.
PIKAT mendapat sambutan baik dari masyarakat, dalam
waktu singkat cabang-cabang PIKAT berdiri di beberapa tempat dan sumbangan dana
mulai mengalir. Maria Maramis menamkan rasa kebangsaan kepada murid-muridnya,
dengan membiasakan mereka sekolah menggunakan pakaian daerah.
Akhir
Hayat
Maria Walanda Maramis wafat pada 22 April 1924 di
Maumbi. Ia mendapatkan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
atas perjuangannya dalam mencerdaskan generasi bangsa sesuai dengan SK Presiden
RI No 012/K/1969 tanggal 20 Mei 1969.
7.
Nyai Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan – Yogyakarta
Nyai Ahmad DahlanSiti Walidah atau biasa dikenal
dengan Nyai Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta tahun 1872 merupakan keturunan
dari keluarga pemuka Agama Islam dan penghulu resmi Keraton, Kyai Haji Fadhil.
Sejak kecil, Siti Walidah tidak mendapatkan pendidikan umum, kecuali pendidikan
agama yang ia dapatkan dari orangtuanya.
Siti Walidah menikah dengan sepupunya, yaitu Kiyai
Haji Ahmad Dahlan dan dikaruniai enam orang anak. Setelah pernikahan itu, ia
dikenal dengan nama Nyi Ahmad Dahlan. Kiyai Haji Ahmad Dahlan merupakan pemuka
agama dengan pemikiran yang revolusioner, dan sering mendapat kecaman dan
tentangan karena pembahuran yang dilakukannya.
Masa
Perjuangan
Nyai Ahmad Dahlan memiliki pandangan ilmu yang luas,
sebab kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhamadiyah dan tokop pemimpin bangsa
lainnya sekaligus teman seperjuangan suaminya.
Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dalam merintis kelompok
pengajian wanita Sopo Tresno. Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi kewanitaan
berbasis agama Islam. Akhirnya dipilihlah nama Aisyah, sebagai organisasi islam
bagi kaum wanita tepat pada malam Isra
Mi’raj, 22 April 1917. Lima tahun kemudian, Aisyah resmi menjadi bagian dari
Muhammadiyah.
Akhir
Hayat
Pada 31 Mei 1946, Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia.
Untuk menghormati segala jasa-jasanya dalam menyebarluaskan agama islam dan
mendidik perempuan, pemerintah memberikan gelar kehormatan kepada Nyai Ahmad
Dahlan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No
042/TK/1971.
8.
Nyi Ageng Serang – Yogyakarta
Nyi Ageng SerangPemilik nama lengkap Raden Ageng Kustiah
Retno Edi ini adalah seorang ahli strategi perang yang lahir di Serang 1752.
Meskipun kodratnya sebagai seorang perempuan, namun ia juga mampu sebagai
panglima perang. Ayahnya adalah Pangeran Natapraja, Bupati Serang Yogyakarta
yang dikenal juga sebagai Panembahan Serang. Sejak kecil, Nyi Ageng Serang
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi untuk mengusi Belanda dri bumi pertiwi.
Masa
Perjuangan
Pada abad 19, Belanda mulai menyerang tanah Jawa dan
mulai merendahkan martabat raja-raja Jawa serta membuat keadaan rakyat semakin
sengsara karena banyak terjadi perampasan tanah-tanah rakyat sehingga
meletuslah perang Diponegoro (1825-1830) yang juga menjadikan Nyi Ageng Serang
(usia 73 tahun) sebagai pinisepuh dalam perang tersebut.
Usia tidak menghalangi Nyi Ageng dalam perang
tersebut, bahkan ia memimpin langsung pasukannya ketika perang gerilya di desa
Beku, kabupaten kulon progo. Strategi yang diterapkan oleh Nyi Ageng dalam
perperangan tersebut, membuat Pangeran Diponegoro mengangkatnya sebagai
penasehat, sejajar dengan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Joyokusumo dalam
siasat perang.
Akhir
Hayat
Karena fisik yang semakin melemah, akhirnya Nyi Ageng
mengundurkan diri dari medan pertempuran dan menetap di rumah keluarga
Nataprajan di Yogyakarta sampai ia wafat tahun 1828 pada usia 76 tahun karena
sakit. Atas jasa-jasanya membela negara, Nyi Ageng Serang diberi gelar Pahlawan
Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, tanggal 13
Desember 1974.
9.
Hj. Rangkayo Rasuna Said – Jakarta
Rasuna SaidHajjah Rangkayo Rasuna Said merupakan
seorang pejuang wanita yang gigih memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan. Sejak kecil, Rasuna Said sudah mengenyam pendidikan Islam di
pesantren dan tertarik mengikuti perjuangan politik. Kemudian Rasuna Said
membela kaumnya dengan bergabung di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang.
Setelah itu, ia menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.
Masa
Perjuangan
Rasuna Said dinilai sebagai wanita yang mempunyai
cara pikir kritis, sampai membuat pemerintah Belanda mempenjarakannya pada
tahun 1932. Selain itu ia juga tercata sebagai wanita pertama yang terkena
hukuman Speek Delict, yaitu hukum dari pemerintahan Belanda bagi siapa saja
yang berbicara menentang Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di
Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia, duduk sebagai
Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi
Kemerdekaan dan setelah itu ia diangakat sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Pada tahun 1959, Rasuna Said
berhasil mencapai karir politiknya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung
setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Akhir
Hayat
Rasuna Said menjabat sebagai anggota Dewan
Pertimbangan Agung sampai akhir hayatnya, 2 November 1965 di Jakarta dengan
meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta,
Anugerah Mutia Rusda, Moh.Ibrahim, Moh.Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha
Quratul’Ain). Atas segala jasa-jasanya, Rasuna Said diberikan gelar kehormatan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 084/TK/Tahun
1974 tanggal 13 Desember 1974.
10.Hj.
Fatimah Siti Hartinah Soeharto – Jawa Tengah
Siti HartinahHj. RA Fatimah Siti Hartinah atau lebih
dikenal dengan nama Tien Soeharto adalah istri Presiden Indonesia kedua,
Jendral Purnawirawan Soeharto. Tien lahir di Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah
pada 23 Agustus 1923 dari pasangan KPH Soemoharjomo dan RA Hatmanti
Hatmohoedjo.
Sejak kecil, Tien sudah terbiasa berpindah-pindah
tempat tinggal mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke berbagai daerah,
pernah tinggal di Jumapolo Solo, Matesih Gunung lawu, kota Solo dan pernah
mengenyam pendidikan di Holland Indlanche School selama setahun.
Masa
Perjuangan
Setelah Jepang memasuki kota Sola, Tien pun
mengikuti kursus bahasa Jepang dan bergabung dengan Laskar Putri Indonesia,
organisasi wanita yang bertujuan untuk melayani kepentingan pasukan garis depan
dan belakang perjuangan.
Saat umur 23 tahum, utusan Prawirowihardjo yang
merupakan orang tua angkat Soeharto datang ke rumah Tien untuk melamarnya. Tien
dan Soeharto menikah pada tanggal 26 Desember 1947. Soeharto yang saat itu
seorang perwira militer memboyong istrinya ke Yogyakarta untuk bertugas. Pada
tanggal 23 Januari 1949, Tien melahirkan putri pertamanya yang diberi nama Siti
Hardiyanti Hastuti.
Seiring berjalannya waktu, Tien sebagai seorang
istri selalu mendukung dan mendampingi suaminya yang menjadi tokoh sentral
dalam usaha pembubaran PKI. Pada tahu 1967, melalui sidang istimewa MPRS,
Soeharto diangkat menjadi presiden, dan Tien yang tadinya adalah istri prajurit
kini menjadi istri presiden selama lebih hingga 30 tahun.
Sebagai Ibu Presiden, Tien berusaha untuk membenahi
istana negara yang dahulunya seperti peninggalan zaman Belanda, diubah menjadi
lebih lembut dengan menonjolkan ciri khas Indonesia, seperti menambahkan
perabot dengan ukiran jati dari Jepara, memasang lukisan-lukisan karya pelukis
Indonesia hingga mengganti warna-warna bangunan menjadi lebih cerah. Salah satu
kontribusi Tien hingga saat ini selalu diingat adalah tentang gagasannya untuk
membangun Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) yang sampai saat ini menajdi ikon bagi bangsa Indonesia.
Akhir
Hayat
Setelah kurang lebih 47 tahun mendampingi Presiden
Soeharto, pada 28 April 1966 di RS Gatot Subroto, Siti Hartinah menghembuskan
nafas terakhirnya karena serangan jantung. Atas segala jasanya, Tien diberikan
gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
11.
Hj. Fatmawati Soekarno – Bengkulu
Fatmawati SoekarnoFatmawati adalah wanita asli
pribumi yang lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan
Siti Chadijah yang mana kedua orangtuanya keturunan dari Puti Indrapura
(keluarga raja dari kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat). Ayah
Fatmawati merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Ketika usia 20 tahun, Fatmawati menikah dengan
Presiden Indonesia Pertama Soekarno pada tanggal 01 Juni 1943. Yang membuat
Fatmawati secara otomatis menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun
1945-1967. Fatmawati adalah istri ketiga dari Soekarno, yang dikaruniai lima
orang anak yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan yang terakhir Guruh Soekarnoputra.
Masa
Perjuangan
Setelah menikah, Fatmawati ikut suaminya ke Jakarta
untuk berperan aktif dan bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya
untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Soekarno selaku pemimpin pejuang, selalu
meminta pendapat dan pertimbangan mengenai langkah-langkah perjuangannya kepada
Fatmawati.
Menjelang kemerdekaan, pada 15 Agustus 1945
Fatmawati dengan semangat reflektif sambil menggendong anak pertamanya
Moh.Guntur yang masih bayi, ikut meninggalkan kota Jakarta menuju
Rengasdengklok mengikuti Soekarno, Hatta dan beberapa anggota PETA.
Selain itu , Fatmawati sebagai Ibu Negara Indonesia
Pertama terkenal sebagai wanita yang berjasa dalam menjahit bendera Sang Saka
Merah Putih yang dikibarkan pada upacara pertama Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Akhir
Hayat
Pada tanggal 14 Mei 1980, di usia 57 tahun Fatmawati
meninggal dunia karena serangan jantung di Kuala Lumpur, Malaysia. Saat ini
nama Fatmawati dijadikan nama sebuah Rumah Sakit di Jakarta dan sebuah nama
Bandara Udara di Indonesia, tepatnya di Bengkulu, koto kelahirannya. Perjuangan
Ibu Fatmawati sejak sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, diakui oleh
Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden RI No.118/TK/2000 tanggal 4
Nopember 2000 sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
12.
Opu Daeng Risaju – Sulawesi Selatan
Opu Daeng RisadjuOpu Daen Risaju atau yang ketika
kecil akrab dikenal sebagai Famajjah adalah Pahlawan Nasional yang lahir di
Palopo tahun 1880 dari pasangan Opu Daeng Mawellu dan Muhammad Abdullah to
Barengseng. Nama Opu Daen Risaju merupakan simbol kebangsawanan kerajaan Luwu,
gelar yang didapatkan sesudah menikah dengan suaminya, H Muhammad Daud.
Sejak kecil, Opu Daeng Risaju tidak pernah duduk di
bangku sekolah formal seperti sekolah belanda. Namun sudah banyak belajar
tentang ilmu agama dan budaya. Meskipun buta huruf latit, tapi beliau paham
tentang Al-Qur’an, Fiqh, Nahwu Sharaf dan balaghah karena hidup di lingkungan
bangsawan yang menerapkan nilai-nilai moral dan tingkah laku.
Masa
Perjuangan
Pada tahun 1927, Opu tertarik memasuki organisasi
politik dengan menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia cabang Pare-Pare.
Karena keaktifannya, ia terpilih sebagai ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Daerah
Palopo, pada 14 Januari 1930. Selama kepemimpinannya di PSII, Opu menjadikan agama
sebagai landasannya dan mendapatkan dukungan besar dari rakyat.
Belanda menahan Opu untuk tidak melanjutkan
perjuangannya di PSII, karena Belanda tidak inginb Opu mendapatkan dukungan
rakyat yang besar. Pihak Belanda bersama dengan Controleur Afdeling Masamba
menganggap bahwa Opu sudah menghasut rakyat agar tidak percaya kepada
pemerintah. Akhirnya, Opu diadili dan dicabut gelar kebangsawanannya dan
dipenjara selama 14 bulan pada tahun 1943.
Akhir
Hayat
Pada masa Revolusi, Opi kembali aktif bersama pemuda
Sulawesi Selatan untuk melawan NICA yang ingin menjajah Indonesia. Karena
keberaniannya melawan NICA, Opu menjadi buronan Belanda di Sulawesi Selatan dan
akhirnya menyiksa Opu hingga ia menjadi tuli dan dijadikan tahanan luar. Opu
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 10 Februari 1964. Atas segala
jasanya, Opu Daeng Risaju diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional.
Wanita
Hebat Asal Sumatera Barat
1.
Rohana Kudus
Rohana Kudus adalah Perempuan Multitalenta yang
mempelopori emansipasi kaum perempuan, seperti RA Kartini. Rohana Kudus adalah
seorang guru, pendiri sekolah perempuan, penulis, wirausaha dan juga pemimpin
redaksi dari berbagai surat kabar perempuan. Rohana Kudus selain terkenal
sebagai perempuan yang berpengaruh di Sumatera Barat, juga menguasai tiga
bahasa asing yaittu bahasa Arab Latin, Arab Melayu dan Belanda.
2.
Rahmah El Yunusiyah
Rahmah El Yunusiyah adalah tokoh ulama perempuan
yang berasal dari Sumatera Barat. Salah satu bukti perjuangannya yang tetap
eksis hingga hari ini adalah Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Beliau
juga perempuan pertama yang mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar
Mesir, pada tahun 1957.
3.
Siti Manggopoh
Siti Manggopoh merupakan tokoh perempuan yang sangat
ditakuti pada zaman sebelum kemerdekaan. Siti Manggopoh terkenal berani
melakukan perlawan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang
(belasting). Peraturan belasting yang dibuat Belanda, dianggap bertentangan
dengan adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan kaum di Minangkabau.
Akibat perlawanannya terjadilah Perang Belasting pada 16 Juni 1908 yang membuat
Belanda kewalahan dan pasukan Minangkabau berhasil menewaskan 53 orang serdadu
penjaga benteng atas siasat yang diatur oleh Siti Manggopoh.sumber
No comments:
Post a Comment